Selasa, 29 Mei 2012

ulumul hadis


KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur bagi Allah SWT, Tuhan pencipta alam. Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya dan sahabatnya yang setia. Berkat taufiq dan hidayah-Nya tugas ini bisa terselesaikan.
 Ucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah memberikan semangat kepada kami dalam penyelesaian tugas ini. Harapan kami, mudah- mudahan tugas ini dapat bermanfaat dan dapat dipahami oleh pembaca sekalian sehingga dapat memperdalam tentang macam- macam hadits dari segi kualitas.
Dengan adanya sarana ini, diharapkan prestasi lebih meningkat dan pemahaman terhadap nilai- nilai agama islam bisa ditumbuhsuburkan dan dikembangkan sehingga menjadi generasi yang cakap, cerdas, serta berakhlak mulia, berguna bagi nusa dan bangsa dan agama. Amin.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif betul- betul kami harapkan, terutama dari bapak dosen yang telah membarikan tugas kepada kami.
                                                                                               Lumajang, 18 maret 2011
                                                                                                          Penyusun






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 3
A.    Latar belakang ................................................................................................... 3
B.     Rumusan masalah .............................................................................................. 3
C.     Tujuan ................................................................................................................ 4
BAB II KAJIAN MATERI .................................................................................. 5
1.      Pengertian hadits shahih dan macam- macamnya .............................................. 5
2.      Pengertian hadits hasan dan macam- macamnya .............................................. 10
3.      Pengertian hadits dha’if dan macam- macamnya ............................................. 12
4.      Hujjah hadist shahih, hasan dan dha’if ............................................................. 13
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 15
A.    Kesimpulan ....................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16














BAB I
                                                  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan maupun sifat- sifat beliau. Tidak semua hadits bisa dikatakan baik dan bisa dijadikan sebagai dalil- dalil atau hujjah hukum, dengan alasan bahwa hadits itu disandarkan kepada nabi saw. Namun ada juga hadits yang kurang baik dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil- dalil atau hujjah hukum dengan alasan karena adanya suatu kekurangan di dalamnya, baik dari segi sanad, maupun dari segi perawinya. Misalnya dari segi sanad, ada yang sanadnya tidak sampai kepada nabi, atau dari perawi misalnya, perawinya kurang dhabit, atau dhabit namun kurang adil, atau terdapat ‘illat dan syudzudz di dalamnya.
Dalam menentukan sebuah hukum yang permasalahannya kurang jelas dalam Al- Qur’an, maka menggunakan hadits sebagai pengganti dari Al- Qur’an, yang artinya hadits itu adalah sumber hukum yang kedua dari Al- Qur’an. Namun, sebagaimana penjelasan diatas, tidak semua hadits bisa dipakai atau dijadikan sebagai dalil- dalil atau hujjah hukum, lihat terlebih dahulu, apakah hadits itu baik ( dari sanad dan perawinya) atau tidak.
Oleh karena itu, kami mengangkat judul ini agar nanti kita dalam menentukan sebuah hukum yang permasalahannya kurang jelas dalam Al- Qur’an, kita menggunakan hadits yang sudah kita nilai, apakah hadits ini baik atau tidak dan bisa atau tidaknya digunakan dalam menentukan sebuah hukum permasalahan.
B.     Rumusan masalah
a)      Bagaimana definisi hadits shahih dan macam- macamnya?
b)     Bagaimana definisi hadits hasan dan macam- macamnya?
c)      Bagaimana definisi hadits dha’if dan macam- macamnya?
d)     Bagaimana hujjah hadits- hadits diatas?
C.    Tujuan
a)      Menjelaskan definisi hadits shahih dan macam-macamnya.
b)     Menjelaskan definisi hadits hasan dan macam-macamnya.
c)      Menjelaskan definisi hadits da’if dan macam-macamnya.
d)     Menjelaskan hujjah hadits-hadits diatas.


























BAB II
KAJIAN MATERI
A.    Pengertian Hadits Shohih
Shohih menurut bahasa adalah lawan dari sakit. Sedangkan menurut istilah adalah suatu hadist yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang- orang yang adil, memiliki kemampuan menghapal yang sempurna(ضابط), serta tidak ada perselisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya(شذ), dan tidak ada ‘illat(علة) yang berat.[1]
Syarat- syarat hadits shohih[2]:
1.      Sanadnya besambung, maksudnya adalah rawi dalam sanad hadits bertali- temali, tidak yang gugur seorangpun. Dengan demikian, berarti tiap- tiap rawi mendengar langsung dari gurunya.
2.      Perawinya adil, artinya adil dalam periwayatan. Maksudnya rawi hadits mesti orang islam, dewasa, berpikiran sehat, selamat dari perbuatan dosa besar atau dosa kecil yang terus- menerus, bebas dari hal- hal yang menodai kepribadiannya, misalnya makan di pasar, berjalan tanpa alas kaki atau tidak memakai tutup kepala. Oleh karena itu, riwayat orang yang fasik dan tidak dikenal kepribadiannya dan tingkah lakunya tidak dapat dikategorikan shohih, karena belum jelas keadilannya.
3.      Dhabit, artinya kuat ingatan, dhabit ini ada dua macam, yakni:
a.      Dhabit Shadri, artinya ingatan rawi itu benar- benar kuat menyimpan dalam pikirannya apa yang dia dengar, dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki.
4.      Dhabit kitab, artinya rawi itu kuat ingatannya berdasarkan buku catatannya yang dia tulis sejak dia mendengar atau menerima hadits dan dia mampu menjaga tulisan itu dengan baik dari kelemahan, apabila dia meriwayatkan dari kitabnya. Hal ini berlaku pada zaman pertama periwayatan hadits di masa lampau, sedangkan nutuk zaman sekarang, cukup berdasarkan pada naskah- naskah yang telah di sepakati keshahihannya.
5.      Tidak ada kejanggalan (شذ), maksudnya adalah adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwatkan oleh rawi yang dapat dipercaya (ثقة) dengan hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah atau kelompok orang terpercaya (ثقة) pula, disebabkan dengan adanya penambahan atau pengurangan jumlah sanad atau tanbahan dan kekurangan dalam materi hadits.
6.      Tidak ada cacat yang parah, maksudnya cacat yang ada pada hadits yang dari segi lahir hadits tersebut dapat diterima, tetapi setelah diselidiki dengan seksama jalur periwayatannya, ternyata megandung cacat yang menyebabkan hadits ini ditolak.
Jika salah satu syarat diatas tidak terpenuhi, maka ini tidak dapat dinamakan sebagai hadits shohih.
Contoh: Diriwatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab shahihnya, dia berkata: telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari bapaknya, dia berkata: “ Aku telah mendengar Rosulullah membaca surat Ath- Thur dalam sholat maghrib”, maksud perkataan mereka adalah “ هذا حديث صحيح او هذا حديث غير صحيح”. Jadi apabila mereka mengatakan , maka maksudnya bahwa syarat yang telah disebutkan diatas telah terpenuhi. Sedangkan jika mengatakan هذا حديث غير صحيح, maka yang dimaksud bahwa syarat tersebut belum terpenuhi, baik sebagian ataupun semuanya.
Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan hadits shohih mempunya tingkatan derajat berdasarkan pada syarat- syarat diatas. Oleh karena itu, sebagian ‘ulama hadits menyebutkan untuk tingkatan sanad yang paling tinggi dengan istilah: انه اصح الاساند, dan setiap imam menguatkan sanad yang menurutnya paling kuat. Diantara mereka adalah: 1) Ibnu Syihab Az- Zuhri, dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya, 2) Muhammad bin Sirin, dari Ubaidah bin Amru, dari Ali bin Abi Thalib, 3) Ibrahim An- Nakha’I, dari Alqamah bin Qais, dari Abdullah bin Mas’ud, 4) Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar.
Namun pendapat yang kuat tidak menjadi tolak ukur dalam menentukan hadits shahih atau tidak shahih dari segi sanad, karena perbedaan tingkat keshahihan sangat ditentukan oleh pemenuhan sanad tersebut atas syarat- syarat keshahihan sebuah hadits.
Tingkatan hadits shahih[3]:
a.      Bila diriwatkan dengan sanad- sanad dari “اصح الاساند” seperti Imam Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
b.      Bila disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim(متفق عليه).
c.       Bila diriwatkan oleh Imam Bukhari saja.
d.      Bila diriwatkan oleh Imam Muslim saja
e.       Bila sesuai syarat keduanya meskipun tidak diriwatkan oleh keduanya
f.       Bila sesuai syarat Imam Bukhari saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya
g.      Bila sesuai syarat Imam Muslim saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya
h.      Apabila shahih menurut para ‘ulama selain Imam Bukhari dan Imam Muslim seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan tidak sesuai syarat keduanya.
Hadits shahih itu ada dua macam:
a.      Shahih Lidzatihi, dan
b.      Shahih Lighairihi
Definisi shahih lidzatihi[4]:
Menurut Hafidz Hasan Al- Mas’udi
هَََُوَ مَا اتَّصَلَ ِاسْنَادِهِ بِتَقْلِ اْلعَدْلِ الضََّابِطِ ضَبْطًا تَامًا عَنْ مِثْلِهِ ِالَى مُنْتَهَى السَّنَدِ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ قَا دِحَةٍ
Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya dari orang yang sekualitas dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak mengandung cacat yang parah.
Shahih lidzatihi menurut bahasa sah karena dzatnya, yakni shahih dengan tidak bantuan keterangan lain. Sedangkan menurut istilah adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang- orang yang adil, dhabit yang sempurna, serta tidak ada syudzudz dan tidak ada ‘illat yang tercela[5].
Contohnya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوْ سُفَ َاخْبَرَنَا مَاِلكٌ عَنْ َنا فِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ اِذَا كَانُوْا ثََلاَثَةً فَلاَ يَتَنَاجَى ِاثْنَانِ دُوْنَ الثّاَلِثِ  
Artinya:
(kata Imam Bukhari ): telah menceritakan kepada kami,” Abdullah bin Yusuf, ( ia berkata) telah mengabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bahwa Rosulullah bersabda: “ Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik- bisikkan dengan tidak yang bersama yang ketiganya”.
Maka, pada rawi- rawi yang ada dalam sanad hadits diatas bisa diketahui mana diantara mereka yang tidak memenuhi syarat- syarat hadits shahih, tetapi dalam hadits diatas sanadnya dan rawinya telah sesuai dengan syarat- syarat hadits shahih yang harus dipenuhi sebelum hadits diatas bisa dikatakan shahih. Oleh karena itu, apabila sanad dan rawi diatas disusun akan menjadi seperti berikut:1) Bukhori, 2) Abdullah bin Yusuf, 3) Malik, 4) Nafi’, 5) Abdulah( Ibnu Umar), 6) Rosulullah SAW.
Jadi apabila kita memeriksa sanad dan rawi tersebut sudah bersambung mulai dari awal hingga akhir, sedangkan sifat yang dimiliki oleh rawi sesuai dengan apa yang harus dimiliki oleh seorang perawi, yaitu: adil, terpercaya, dan hafalannya kuat.
Definisi shahih lighairihi:
 Menurut Hafidz Hasan Al- Mas’udi
هُوَ الْحَسَنَ لِذَاتِهِ اِذَا تَقْوَى بِمَجِيْئِهِ مِنْ طَرِيْقٍ مُسًاوٍ لِطَرِيْقِهِ اَوْ مِنْ اَكْثَرَ وَلَوْ اَدْنَى
Hadits shahih lighairihi adalah hadits hasan lidzatihi yang apabila menjadi kuat dengan adanya hadits yang sama dari jalur lain, yang serupa atau lebih banyak, sekalipun lebih rendah.[6]
Menurut Ahmad Qodir Hasan
Shohih lighoirihi artinya, shohih karena yang lainnya, yaitu yang jadi sah karena dikuatkan dengan jalan (sanad). Sedangkan menurut ahli hadits, ada beberapa macam, yaitu:[7]
a.      Hadits hasan lidzatihi, dikuatkan dengan jalan lain yang sama derajatnya, contohnya:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا اَبُوْ قُتَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الَّرحْمَنِ بْنُ عَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَتَمَثَّلُ بِشِعْرٍ اَبِيْ طَاِلبٍ       (البخاري)
Artinya:
(Imam Bukhori berkata): telah menceritakan kepada kami, ‘Amr bin ‘Ali, ia berkata: telah menceritakan kepada kami, Abu Qutaibah, ia berkata: telah menceritakan kepada kami, ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin dinar dari bapaknya, ia berkata: “ Aku pernah mendengar Ibnu Umar meniru Syi’ir abi Thalib……”).
Jadi sanadnya bersambung dan rawi- rawinya orang- orang kepercayaan dengan sempurna, hanya ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Dinar yang derajatnya kurang dari yang lainnya, tetapi tidak lemah.
b.      Hadits hasan lidzatihi, dibantu dengan beberapa sanad walaupun sanadnya berderajat rendah, contohnya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّ ثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ حَدَّّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيْلٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنَفِيَّةِعَنْ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ     ( الترمذى)
Artinya:
“ (kata Turmudzi): telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, (ia berkata): telah menceritakan kepada kami, ‘Abdurrahman, ( ia berkata): telah menceritakan kepada kami , Sufyan, dari ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil, dari Muhammad bin Al- Hanafiyah, dari ‘Ali, dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: “ pembuka sholat itu adalah bersesuci, dan yang memasukkan ( seseorang ) kedalam sholat, adalah takbir, dan yang mengeluarkan ( seseorang) dari sholat itu adalah salam”).
            Jadi rawi- rawi yang ada dalam sanad ini semua adalah orang kepercayaan, melainkan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil saja, walaupun ia seseorang yang benar, tetapi tentang hafalannya kuat tidaknya masih dalam perselisihan, yakni diantara ‘ulama ada yang menganggap kuat.
c.       Hadits hasan lidzatihi atau hadits lemah yang isinya setuju dengan salah satu ayat al- qur’an, yang cocok dengan salah satu dari pokok- pokok agama. Contohnya: diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa Rosulullah saw, bersabda:
تََنَظَّفُوْا فَاِنَّ اْلاِسْلاَمَ نَظِيْفٌ   ( ابن جبان)
Artinya:
“ Berlaku bersihlah kamu, karena sesungguhnya islam itu bersih”
            Jadi hadits ini lemah, karena dalam sanadnya ada seorang rawi bernama Ro’uf Al- Ambari, dia suka meriwayatkan hal- hal yang ajaib dengan nama orang- orang kepercayaan, dan riwayatnya tidak diterima.
d.      Hadits yang tidak begitu kuat, tetapi diterima baik oleh ‘Ulama- ‘ulama.
Contohya:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ وَاْلحِلُّّ مَيْتَتُهُ
Artinya:
“Laut itu suci airnya, dan halal bangkainya.”
            Jadi hadits ini diterima oleh ‘ulama karena diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, Daruquthni, Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan lainnya, dari sahabat- sahabat Anas, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnul Farisi, ‘Ali, Ibnu Umar, Abu Bakar, dan Abdullah bin Amr. Tetapi dalam semua sanadnya ada rawi yang tercela dan ada yang diperselisihkan.
B.     Pengertian Hadits Hasan
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan
Hasan menurut bahasa artinya baik dan bagus, sedangkan menurut istilah: “ hadits yang sanadnya bersmbung dari permulaan, sampai akhir, diceritakan oleh orang- orang yang adil, kurang dhabitnya, serta tidak ada syudzudz, dan ‘illat yang berat didalamnya.”
Tingkatan hadits hasan:
1)   Bila suatu hadits mempunyai dua sanad atau lebih, maka istilah itu maksudnya adalah salah satu sanad berderajat hasan, dan yang lain berderajat shaih.
2)   Bila mempunyai hanya satu sanad saja, maka lafadz itu berarti bahwa hadits itu hasan menurut pandangan sekelompok ‘ulama, dan shahih menurut pandagan ‘ulama lain.
Hadits hasan itu ada dua macam:
                         1.       Hasan lidzatihi, dan
                         2.       Hasan lighoirihi
Definisi hasan lidzatihi:
هُوَ مَا رَوَاهُ عَدْلٌ قَلَّ ضَبْطُهُ مُتِّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاٍذ
Artinya:
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung cacat, dan tidak mengandung kejanggalan.
Menurut Ahmad Qodir Hasan:
Hasan lidzatihi menurut bahasa adalah bagus karena dzatnya, atau dirinya. Sedangkan menurut istilah adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang- orang yang adil tetapi ada yang kurang dhabit, serta tidak ada syudzudz dan ‘illat.
Contohnya:
حَدَّثَنَا اَبُوْ كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ ابْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِِ عَمْرٍ وَعَنْ اَبِيْ سَلَمَةَ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص لَوْلاَ  عَنْ اَشُقَّ عَلىَ اُمَّتِيْ َلاَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ        (الترمذي   38      1 (
Artinya:
(kata Turmudzi): telah menceritakaan kepada kami, Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami, ‘Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin Amr, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, ia berkata: telah bersabda Rosulullah saw:” jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintah mereka bersiwak diwaktu tiap- tiap hendak sholat.”
Jika kita memeriksa hadits diatas dan menyusunnya dapat diketahui apakah sanad hadits tersebut bersambung atau tidak bersambung serta akan menjadi sebagai berikut: 1) Turmudzi, 2) Abu Kuraib, 3) ‘Abdah bin Sulaiman, 4) Muhammad bin Amr, 5) Abi Salamah, 6) Abi Hurairah, 7) Rosulullah saw.
Karena kalau diperiksa sanad dari Turmudzi sampai kepada Nabi Muhammad saw itu bersambung hingga rawinya, tetapi dari semua rawi diatas ada yang kedhabitannya kurang atau lemah hafalannya yaitu Muhammad bin Amr, dan hadits tersebut tidak syudzudz dan ‘illatnya. Oleh karena itu, hadits diatas dinamakan hasan lidzatihi.
Definisi hasan lighairihi:
هُوَ مَالاَ يَخْلُوْا اِسْنَاُدُهُ عَنْ مَسْتُوْرٍ اَوْ سَيِّئِ الْحِفْظِ اَوْ نَحْوِ ذَالِكَ وَيُشْتَرَطُ فِيْهِ ثَلاَثَةُ شُرُوْطٍ َاْلاوَّلُ اَنْ لاَ يَكُوْنَ مُغَفَّلاً كَثِيْرَ الْخَطَاءِ فِيْمَا يَرْوِيْهِ الثَّانِي اّنْ لاَ يَظْهَرَ مِنْهُ مُفْسِقٌ  الثَّالِثُ  اَنْ يَكُوْنَ حَدِيْثُهُ قَدْ عُرِفَ بِاَنْ رُوِيَ مِثْلُهُ اَوْ نَحْوُهُ مِنْ وَجْهٍ اَخَرَ اَوْ اَكْثَرَ
Artinya:
“ hadits yang sanadnya tidak sepi dari seseorang yang tidak jelas perolakunya atau kurang baik hafalannya dan lain- lainnya. Hadits hasan lighairihi ini harus memenuhi tiga syarat: 1) bukan pelupa yang banyak salahnya dalam hadits yang diriwayatkan, 2) tidak tampak ada kefasikan pada diri perawinya, 3) hadits yang diriwayatkan benar- benar telah dikenal luas, karena ada periwayatan yang serupa dengannya atau semakna, yang diriwayatkan dari satu jalur lain atau lebih.
Hasan lighairihi menurut bahasa bagus karena yang lainnya, yakni satu hadits menjadi hasan karena dibantu dari jalan lain. Sedangkan menurut istilah ialah suatu hadits yang dalam sanadnya ada: rawi masthur( rawi yang tidak diketahui keadaannya) atau rawi yang kurang kuat hafalannya, rawi mudallis( rawi yang menyamarkan) atau rawi yang pernah keliru dalam meriwayatkan, atau rawi yang pernah salah dalam meriwayatkan, lalu dikuatkan dengan jalan lain yang sebanding dengannya.
Contohnya:
حَدَّثَنَا اَحْمَدُ  بْنُ مَنِيْعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَزٍيْدَ بْنِ اَبِيْ زِيَادٍ عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ اَبِيْ لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَاِزٍب قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ اَنْ يَغْتَسِلُوْا يَوْمَ الْجُمُعَةِس      )الترمذي    319   2 (
“ (kata Turmudzi): telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’, telah menceritakan kepada kami, Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Abdirrahman bin Abi Laila, dari Al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata: telah bersabda Rosulullah SAW: “ Sesungguhnya satu kewajiban atas orang- orang islam mandi pada hari jum’at”.
Sanad diatas apabila disusun secara teratur akan menjadi sebagai berukut: 1) Turmudzi, 2) Ahmad bin Mani’, 3) Husyaim, 4) Yazid bin Abi Ziyad, 5) Abdirrahman bin Abi Laila, 6) Al-Bara’ bin ‘Azib, 7) Rosulullah SAW.
Dari semua rawi- rawi yang ada pada sanad diatas adalah terpercaya kecuali Husyaim, karena dia terkenal sebagai mudallis (samar dalam riwayatnya). Oleh sebab itu, maka sanadnya dianggap lemah dan hadits ini dikuatkan dengan riwayat lain yang berasal dari Turmudzi juga, yaitu: 1) Turmudzi, 2) Ali bin Hasan Al- Kufi, 3) Abu Yahya Ismail bin Ibrahim At- Taimi, 4) Yazid bin Abi Ziyad, 5) Abdirrahman bin Abi Laila, 6) Al- Bara’ bin ‘Azib, 7) Rosulullah SAW. Dari sanad dan rawi ini juga semuanya terpercaya, melainkan abu yahya yang dianggap lemah. Jadi sanad pertama ada perawi yang dianggap lemah kemudian dibantu oleh sanad yang kedua atau yang lainnya, maka hadits pertama dinamakan hasan lighairihi.
C.    Pengertian Hadits Dha’if

spei

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
        Daulah Turki Usmani merupakam hal yang terbesar yang muncul sebagai salah satu kekuatan politik islam terbesar di dunia. Dengan kata lain pemerintahan yang ada pada daulah tersebut menitik beratkan pemerintahan yang memusat dan kepemimpinan kemiliteran serta di transmisikan  kedalam Republik Turki. Akan tetapi kekuatan politik islam mengalami kemunduran yang drastis akibat keruntuhan Bahgdad. 
        Pendiri daulah turki usmani ini adalah bangsa turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara Cina. Setelah masuk islam, di bawah pimpinan Ertoghrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sulatan Seljuk, yang sedang berperang dengan Bizantium. Pada peperangan terebut Sultan Alauddin memenangkan pertempuran dengan di Bantu oleh penduduknya.
        Pada suatu hari Ertoghrul meninggal dunia, kemudian kepemimpinannya di lanjutkan oleh putranya yang bernama Usman dan di saat itu pulalah dia di anggap sebagai pendiri Daulah Turki Usmani. Oleh karena itu, pada tahun 1300 M (699 H) Daulah Turki Usmani di nyatakan berdiri dan usman menyatakan dirinya sebagai Padisyah Al-Usman (Raja Besar Keluarga Usman). Sedangkan dalam tradisinya mereka banyak mengambil di Persia yaitu, tentang etika dan tata karma. Uuntuk yang berkaitan dengan ekonomi, social, keilmuan dan huruf mereka mengambil dari Bangsa Arab.
        Dengan demikian, kami mengangkat tema ini karena sebagai orang beragama islam sangat penting mengetahui tradisi yang ada dalam setiap daulah. Maka kami sangat tertarik dengan mengangkat sebuah judul “Tradisi Dan Praktek Ekonomi Pada Masa Daulah Turki Usmani”.




B.    Rumusan Masalah
1.    Tradisi Pada Masa Daulah Turki Usmani
2.    Praktek Ekonomi Pada Masa Daulah Turki Usmani
C.    Tujuan
a.    Untuk lebih memahami setiap tradisi yang ada pada Masa Daulah Turki Usmani
b.    Mengambil manfaat dari sistem ekonomi yang ada pada masa Daulah Turki  Usmani
c.    Agar menjunjung tinggi dalam keadilan
d.    Untuk memenuhi rasa keadilan bagi paar pencari keadilan.  





















BAB II
KAJIAN MATERI

A.    Tradisi Pada Masa Daulah Bani Usmani
Pada masa daulah turki usmani tradisi yang paling dominan adalah tentang pemerintahan yang memusat pada kekuatan politik dan kepemimpinan kemiliterannya. Karena dalam pemerintahan daulah tersebut masih mengakui kholifah dan bersifat absolute. Proses tradisi ini dimulai sejak akhir perang dunia 1 yang lantaran itu terbentuklah sejumlah Negara baru di turki dan timur tengah arab. Dengan demikian, imperium usmani yang tengah dalam situasi kritis  terlindungi oleh kekuatan eropa dan merupakan suatu periode perjuangan untuk merebutkan “the sick man” (negeri turki yang sedang sakit-sakitan) di eropa. Pada waktu itu pulalah daulah turki usmani banyak melakukan usaha perluasan wilayah. Selama mereka berkuasa banyak wilayah yang ada dibawah kekuasaannya diantara lain meliputi asia kecil, yunani, yugoslafia, Armenia, irak, syiria, hijas, yaman, mesir, libya, Tunisia, al-jazair, Bulgaria, Albania, hongaria dan Rumania. Dalam masa mereka berkuasa yang wilayahnya semakin luas menjadikan daulah ini menjadikan bangsa turki usmani banyak melakukan interaksi dengan bangsa-bangsa lain sehingga terjadi proses asimilasi.
 Namun daulah turki usmani mengambil ajaran-ajaran tentang etika dan tatakrama dari kebudayaan Persia, dalam hal organisasi pemerintahan dan kepemiliteran banyak diserap dari bizantium, sedangkan ajaran-ajran tentang berbagai prinsip ekonomi,social dan kemasyarakatan, keilmuan dan huruf banyak diserap di bangsa arab.
Pada masa daulah turki usmani kholifah adalah seseorang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Akan tetapi, roda pemerintahan sehai-hari dijalankan oleh seorang perdana menteri
(sadr al a’zham) dan daulah turki usmani juga pernah mengalami masa keemasan yang kekuasasan pemerintahan berada di tampuk kekuasaan Muhammad al-fatih(1451-1484 masehi) dan sultan sulaiman al-qonuni (1520-1566).
Ketika perang dunia 1 yang bertepatan pada bulan desember 1914 daulah turki usmani melibatkan diri dalam perang tersebut, dengan bergabung dalam kubu jerman dan Austria. Karena dengan lantaran bergabung dalam ekonomi dan kemiliterannya, maka usmani dapat menyatukan kembali dalam kekuasaan pusat. Sebagai responnya, inggris, prancis, rusia, dan Italia sepakat untuk membagi beberapa provinsi usmani yang melalui sebuah perjanjian dengan nama sykes-picot (1916). Semenjak itu pulalah rezim usmani telah dilanda sebuah adu pendapat tentang cara memulihkan integritas politik dan efektifitas militernya pada waktu itu juga muncullah dua kubu yang mengeluarkan pendapat tentang masalah itu.
Kubu pertama yaitu restorasionis yang menghendaki pemberlakuan kembali uu (qanun) oleh sulaiman al qonuni, kemudian menentang setiap perubahan yang akan muncul/ memberiakn kesempatan pada kekuatan eropa dan Kristen, baik yang berupa konsep maupun teknik. Serta pada masa beliaulah  pernah mengalami keemasan pada umat islam. Sedangkan kubu kedua yaitu modernis yang menghendaki  adopsi beberapa metode eropa untuk pelatihan, pengorganisasian, administrasi militer, serta perubahn system pendidikan dan kepentingan sipil. Bahkan pada dekade 1860-an muncul kelompok inteligensia yang baru dari kelompok usman muda. Dengan mengatasnamakan penyatuan antara tradisi usmani dan reformasi usmani, kemudian tokoh-tokoh yang ada dalam kelompok baru tersebut adalah namik kemal (1840-1888) ibrahim shinasi(1826-1871) dan ziya pasha (1825-1880) yang mereka berkomitmen dengan rezim usmani, revitalisasi islam dan modernisasi sejalan dengan pola-pola eropa. Sehingga usmani muda meyakini nilai-nilai keluhuran itu diukur melalui kontribusinya terhadap perlindungan hak hidup dan hak milik terhadap keadilan dan sikap kebijakan yang dapat memuaskan pihak warga muslim maupun non-muslim  
B.    Praktek Ekonomi Pada Masa Daulah Turki Usmani
Dalam mengembangkan kehidupan perekonomian pada masa daulah turki usmani melanjutkan kebijakan yang telah diterapkan dinasti abbasiyah. dalam kaitannya melanjutkan kebijakan dinasti abbasiyah selanjutnya yaitu lembaga baitul maal tetap difungsikan sebagai kantor pembendaharaan Negara dengan berbagai sumber pendapatannyan berasal dari kharaj, jizyah, zakat,fa’I, ghanimah dan ‘ush. Pada awalnya, seiring dengan luasnya wilayah yang dikuasai, daulah turki usmani  yang dipimpin oleh sultan sabaheddin menitik beratkan dengan menggunakan system desentralisasi dalam pemungutan pajak dan juga menghendaki sebuah masyarakat federasi dengan pemberian otonomi daerah bagi warga Kristen dan warga minoritas lainnya. Namun, dalam penerapannya timbul permasalahan dikemudian hari. Para pejabat lokal mulai melakukan berbagai penyimpangan seperti memungut pajak melebihi batas kewajiban, memanipulasi pengutipan pajak, membebani kewajiban tambahan kepada para petani serta melegitimasi berbagai praktek pungutan liar, sementara pemerintah pusat tidak bisa melakukan pengawasan secara maksimal karena terfokus kepada berbagai peperangan dengan bangsa eropa, disamping luasnya wilayah kerajaan. Hal tersebut, mendorong pemerintah pusat untuk mengubah kebijakannya menjadi sentralistik.
Pada reformasi fase pertama yang dibarengi dengan periode keorganisasi (tanzimat) dari tahun 1839-1876 pada periode ini progam reformasi diperluas dari bidang militer dan administrasi pada bidang ekonomi,social, dan bidang keagamaan. Oleh sebab itu, usmani menyadari bahwasanya perubahan radikal yang terjadi dikalangan masyarakat pada masa itu merupakan keniscayaan untuk mendukung sentralisasi Negara, maka mereka membangun sejumlah pabrik untuk menghasilkan pakaian,kertas, dan senjata, serta penambangan batu bara, baja, dan tembaga juga dikembangkan untuk membangkitkan perkembangan pertanian, Negara menempuh kebujakan reklamasi (pembagian tanah) dan resettlement(transmigrasi) meskipun pada reformasi trersebut sejumlah monopoli pemerintah ditutup pada tahun 1838 dalam bidang perdagangan dan perbankan memungkinkan para pedagang dan infestor eropa menduduki posisis dominant dalam perekonomian usmani, namun yang paling penting adalah terbentuknya perekonomian yang lebih produktif yang dapat menopang kondisi keuangan Negara.
Disaat itu pulalah sistem hukum diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan, administrasi dan perekonomian yang baru dan untuk merespon tekanan politik yang dimunculkan oleh masyarakat usmani dan kekuatan asing. Dengan berlakunya semua itu banyak pola-pola peradilan dan lintas hukum barat diperkenalkan sejak awal tahun 1840 yang didalamnya membahas hokum pidana dan KUH dagang untuk mengatur pemilikan tanah dan perdagangan dalam prinsip-prinsip hokum sya’riah. Pada tahun 1870 pemerintah usmani mengeluarkan sebuah kitab hokum sipil yang baru yaitu mejelle. Mejelle merupakan tata hokum muamalah secara luas, kecuali soal hokum keluarga yang terdiri atas munakahat (pernikahan) dan faraid (warisan), yang diatur secara terpisah dalam kitab lain. Secara keseluruhan mejelle memuat 1851 pasal (edisi inggris 379 halaman), berisi kaidah hukum (qowaid) terdiri atas 100 pasal, tentang perdagangan 300 pasal, sewa menyewa terdiri atas 207 pasal dan dilengkapi dengan daftar istilah (glossary) alfabetis.
Dari mejelle kita bisa melihat bahwa dasar pertama sahnya transaksi adalah adanya akad, yang terdiri atas ijab dan kobul. Sedangkan implisit yang ada didalamnya adalah hak untuk memilih dan hak untuk membatalkan transaksi. Jadi substansinya disesuaikan dengan sya’riah, tetapi sama sekali tidak terlepas dari tradisi karena ia mengandung banyak perubahan yang didasarkan pada otoritas pribadi sang sultan dan yang dijalankan diperadilan negeri bukan lembaga peradilan sya’riah.
Dibidang agraria, pola kebijakan pemerintahan turki usmani mengacu pada UU agraria warisan bizantiumyang terdapat dua jenis tanah garapan yaitu al-iqta al-ashghar (timar dan ziamat). Timar adalah tanah garapan terkecil yang diberikan pemilik tanah kepada petani untuk diolah. Kemudian hasil timar sepenuhnya milik si pemilik tanah, sedangkan petani yang mengolah hanya diberikan makanan untuk sehari-hari. Akan tetapi, untuk si pemilik timar berkewajiban membayar pajak kepada pemerintah dengan mengerahkan dua-empat ekor kuda atau beberapa orang calon tentara angkatan laut. Untuk menunjang tata pelaksanaan kewajiban ini pemerintah menempatkan seorang pengawas pada setiap timar. Ziamat adalah tanah garapan yang diberiakn pemerintah kepada para petani untuk diolah, maka untuk pemilik tanah/za’im mempunyai kewajiban membayar pajak dan mengirimkan sejumlah calon tentara sesuai dengan kurs ziamat yang dimiliki.
Dan disaaat itu pula untuk menunjang aktivitas ekonomi daulah turki usmani juga melakukan percetakan mata uang,kemudian disetiap mata uang tersebut dicantumkan nama sultan sebagai tanda penguasa dimasa itu.
Ketika terjadi inflasi sultan murad IV mengeluarkan kebijakan penambahan nilai tukar mata uang,emas dan perak. Dengan demikian, pada abad 20 perubahan ekonomi dan social turki mengantarkan pada perkembangannya sebuah masyarakat nasional yang sangat pluralistik, dan sekuler dimana islam melanjutkan perean keagamaan yang sangat menonjol bagi sebagian besart warga turki, tetapi peran tersebut berlangsung diluar kehidupan publik.
   


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
   1. Tradisi pada daulah turki usmani yaitu kholifah adalah seseorang yang  memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, serta ajaran-ajaran tentang etika dan tata karma mengadopsi dari budaya Persia sedangkan organisasi pemerintahan dan kemiliteran banyak diserap dari bizantium. Dalam hal prinsip ekonomi social dan kemasyarakatan, keilmuan dan huruf pada daulah tersebut banyak menyerap dibangsa arab.
2.   Praktek ekonomi pada masa turki usmani yaitu meneruskan kebijakan dari dinasti abbasiyah seperti lembaga baitul maal, serta menggunakan system desentralisasi yang dipimpin oleh sultan sabaheddin, mengubah kebijakan yang dulu menjadi sentralistik dan melakukan percetakan mata uang dengan mencantumkan nama sultan yang berkuasa pada masa itu disetiap mata uang sebagai tanda penguasa  dinasa itu. Ketika terjadi inflasi suntan murad IV mengeluarkan kebujakan menambahkan nilai mata uang emas dan perak. Oleh karena itu, pada abad 20 terjadi perubahan ekonomi dan social turki yang mengantarkan pada berkembangnya sebuah masyarakat yang pluralistik dan sekuler.












DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Ewis. 2005. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Gramata Publishing
Lapindus, Ira M.  2000. Sejarah Sosial Ummat Islam (bagian 3). Jakarta: Raja Grafindo Persada
Muqhni, Syafiq A. 1997. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Jakarta: Logos

hukum perdata


BAB II
PEMBAHASAN
A.        Pengertian Hukum Perdata
              Istilah perdata berasal dari bahasa sansekerta yang berarti warga (burger), pribadi (ptivat), sipil (civiel). Hukum perdata adalah peraturan mengenai warga, pribadi, sipil, berkenaan dengan hak dan kewajiban. Menurut Abdul Kadir Muhammad, bahwa hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dan orang lain.[1] Maka dari definisi tersebut terdapat unsur-unsur yang terkandung di dalamnya sebagai berikut:
a)      peraturan hukum
b)      hubungan hukum
c)      orang
      Peraturan yaitu serangkaian ketentuan mengenai ketertiban. Peraturan itu ada yang tertulis dan tidak tertulis. Hubungan hukum adalah hubungan yang di atur oleh hukum yang berupa hak dan kewajiban warga, pribadi yang satu terhadap warga, pribadi yang lain dalam hidup bermasyarakat. Sedangkan orang adalah subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban yang mana sejak di lahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, bahkan anak yang masih ada dalam kandungan ibunya di anggap sebagai pembawa hak (di anggap telah lahir) apabila kepentingannya memerlukannya (untuk menjadi ahli waris).
      Hal ini telah di sebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata yang berbunyi: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, di anggap telah di lahirkan, bila mana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati di waktu di lahirkannya di anggap ia tidak pernah telah ada”.[2] Kemudian dalam islampun menegaskan bahwa manusia adalah subjek hukum, sebagai makhluk yang di muliakan oleh Allah SWT dan berfirman:
Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”. (QS: Al-Israa’: 70)[3] 
              Jadi manusia sebagai subjek hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan hukum apabila sudah dewasa serta sehat rohaninya dan tidak dibawah pengampuan. Dalam kaitannya dengan subjek hukum ada pendukung hak dan kewajiban baik berupa manusia pribadi dan badan hukum.
              Manusia pribadi adalah segala alam, makhluk hidup ciptaan Tuhan, yang mempunyai akal, perasaan, kehendak, sedangkan badan hukum adalah gejala yuridis, badan ciptaan manusia berdasarkan hukum.
              Sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan hukum maupun KUH Perdata  dapat di bedakan menjadi 4 buku, yaitu:[4]
a)      Menurut ilmu pengetahuan hukum terdiri atas 4 buku, yaitu:
  Buku ke I        : hukum perorangan (personen recht), berisikan peraturan yang mengatur kedudukan orang dalam hukum, kewenangan seseorang serta akibat hukumnya.
  Buku ke II       : hukum keluarga (familie recht), berisikan peraturan yang mengatur hubungan antara orang tua dengan anak-anak, hubungan antara suami dan istri serta hak dan kewajibannya masing-masing.
  Buku ke III     : hukum harta kekayaan (vermogens recht), berisikan peraturan yang mengatur kedudukan benda dalam hukum, yaitu pelbagai hak-hak kebendaan.
  Buku ke IV     : hukum waris (erfrecht), berisikan peraturan mengenai kedudukan benda-benda yang di tinggalkan oleh oramg yang meninggal dunia.
b)      Menurut KUH Perdata dapat juga di bedakan kedalam 4 buku, yaitu:
  Buku ke I        : tentang orang (van personen), berisikan hukum perorangan dan hukum keluarga.
  Buku ke II       : tentang benda (van zaken), berisikan hukum harta kekayaan dan hukum waris.
  Buku ke III     : tentang perikatan (van verbintennissen), berisikan hukum perikatan yang lahir dari undang-undang dan dari persetujuan atau perjanjian.
  Buku ke IV     : tentang pembuktian dan daluwarsa (van bewijs en verjaring), berisikan tentang peraturan tentang alat-alat bukti dan kedudukan benda-benda akibat lampau waktu (verjaring).
B.         Benda Pada Umumnya
              Benda termasuk objek hukum yang menjadi hak milik diri sendiri ataupun milik orang lain, yang mana objek hukum tersebut dapat berguna bagi subjek hukum (manusia dan badan hukum), dan dapat menjadi pokok atau objek suatu hubungan hukum, karena hal itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.
              Contoh: Ahmad dan Ali mengadakan sewa tanah. Tanah disini adalah objek hukum, si Ahmad dan Ali adalah subjek hukum.
              Benda menurut Pasal 499 KUH Perdata ialah “tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik”.[5] Hak disebut juga dengan bagian dari harta kekayaan (vermogens bestanddeel). Harta kekayaan meliputi barang, hak dan hubungan hukum mengenai barang dan hak di atur dalam Buku II dan Buku III KUH Perdata. Barang sifatnya berwujud, sedangkan hak sifatnya tidak berwujud.
              Menurut ilmu pengetahuan hukum, benda itu dapat di artikan dalam arti luas dan sempit. Benda dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dapat di miliki oleh orang, dengan artian benda-benda dalam pengertian tersebut merupakan benda-benda yang dapat dilihat, seperti meja, kursi, jam tamgan, motor, komputer, mobil, dan sebagainya. Sedangkan untuk benda-benda yang tidak dapat dilihat meliputi berbagai hak, seperti hak tagihan, hak cipta dan lain-lain.
              Dalam Pasal 500 KUH Perdata: “segala sesuatu yag termasuk dalam suatu barang karena hukum perlekatan, begitu pula segala hasilnya, baik hasil ala, maupun hasil usaha kerajinan, selama melekat pada dahan atau akarnya, atau terpaut pada tanah, adalah bagian dan barang itu”.


[1] Abdul Kadir Muhammad, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 3
[2] Burgerlijk Wetboek, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata”, (Bandung: Citra Umbara, 2010), hal. 3
[3] Departemen Agama RI, “Al-quran dan Terjemahnya”, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-quran, 1982), hal. 435
[4] Ishaq, “Dasar-dasar Ilmu Hukum”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 171-172
[5] R. Subekti, R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata”, (Jakarta: Pradnya Parmita, 1995), hal. 157