KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur bagi Allah SWT,
Tuhan pencipta alam. Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya dan sahabatnya yang setia. Berkat
taufiq dan hidayah-Nya tugas ini bisa terselesaikan.
Ucapkan terima kasih kepada pembimbing yang
telah memberikan semangat kepada kami dalam penyelesaian tugas ini. Harapan kami,
mudah- mudahan tugas ini dapat bermanfaat dan dapat dipahami oleh pembaca
sekalian sehingga dapat memperdalam tentang macam- macam hadits dari segi
kualitas.
Dengan adanya sarana ini,
diharapkan prestasi lebih meningkat dan pemahaman terhadap nilai- nilai agama
islam bisa ditumbuhsuburkan dan dikembangkan sehingga menjadi generasi yang
cakap, cerdas, serta berakhlak mulia, berguna bagi nusa dan bangsa dan agama.
Amin.
Kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam pembuatan makalah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif betul- betul
kami harapkan, terutama dari bapak dosen yang telah membarikan tugas kepada
kami.
Lumajang,
18 maret 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................... 1
DAFTAR
ISI........................................................................................................... 2
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................... 3
A. Latar belakang ................................................................................................... 3
B. Rumusan masalah .............................................................................................. 3
C. Tujuan ................................................................................................................ 4
BAB II
KAJIAN MATERI .................................................................................. 5
1. Pengertian hadits shahih dan
macam- macamnya .............................................. 5
2. Pengertian hadits hasan dan
macam- macamnya .............................................. 10
3. Pengertian hadits dha’if dan
macam- macamnya ............................................. 12
4. Hujjah hadist shahih, hasan
dan dha’if ............................................................. 13
BAB III
PENUTUP .............................................................................................. 15
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 15
DAFTAR
PUSTAKA .......................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits
adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa ucapan,
perbuatan, penetapan maupun sifat- sifat beliau. Tidak semua hadits bisa
dikatakan baik dan bisa dijadikan sebagai dalil- dalil atau hujjah hukum,
dengan alasan bahwa hadits itu disandarkan kepada nabi saw. Namun ada juga
hadits yang kurang baik dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil- dalil atau
hujjah hukum dengan alasan karena adanya suatu kekurangan di dalamnya, baik
dari segi sanad, maupun dari segi perawinya. Misalnya dari segi sanad, ada yang
sanadnya tidak sampai kepada nabi, atau dari perawi misalnya, perawinya kurang
dhabit, atau dhabit namun kurang adil, atau terdapat ‘illat dan syudzudz di
dalamnya.
Dalam
menentukan sebuah hukum yang permasalahannya kurang jelas dalam Al- Qur’an,
maka menggunakan hadits sebagai pengganti dari Al- Qur’an, yang artinya hadits
itu adalah sumber hukum yang kedua dari Al- Qur’an. Namun, sebagaimana
penjelasan diatas, tidak semua hadits bisa dipakai atau dijadikan sebagai
dalil- dalil atau hujjah hukum, lihat terlebih dahulu, apakah hadits itu baik ( dari sanad dan perawinya)
atau tidak.
Oleh karena itu,
kami mengangkat judul ini agar nanti kita dalam menentukan sebuah hukum yang
permasalahannya kurang jelas dalam Al- Qur’an, kita menggunakan hadits yang
sudah kita nilai, apakah hadits ini baik atau tidak dan bisa atau tidaknya
digunakan dalam menentukan sebuah hukum permasalahan.
B. Rumusan
masalah
a) Bagaimana definisi hadits
shahih dan macam- macamnya?
b) Bagaimana definisi hadits
hasan dan macam- macamnya?
c) Bagaimana definisi hadits
dha’if dan macam- macamnya?
d) Bagaimana hujjah hadits-
hadits diatas?
C. Tujuan
a) Menjelaskan definisi
hadits shahih dan macam-macamnya.
b) Menjelaskan definisi
hadits hasan dan macam-macamnya.
c) Menjelaskan definisi
hadits da’if dan macam-macamnya.
d) Menjelaskan hujjah
hadits-hadits diatas.
BAB II
KAJIAN
MATERI
A. Pengertian
Hadits Shohih
Shohih
menurut bahasa adalah lawan dari sakit. Sedangkan menurut istilah adalah suatu
hadist yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh
orang- orang yang adil, memiliki kemampuan menghapal yang sempurna(ضابط), serta tidak ada perselisihan
dengan perawi yang lebih terpercaya darinya(شذ), dan tidak ada ‘illat(علة) yang berat.[1]
Syarat- syarat hadits
shohih[2]:
1. Sanadnya
besambung,
maksudnya adalah rawi dalam sanad hadits bertali- temali, tidak yang gugur
seorangpun. Dengan demikian, berarti tiap- tiap rawi mendengar langsung dari
gurunya.
2. Perawinya
adil, artinya adil dalam periwayatan. Maksudnya rawi hadits mesti orang
islam, dewasa, berpikiran sehat, selamat dari perbuatan dosa besar atau dosa
kecil yang terus- menerus, bebas dari hal- hal yang menodai kepribadiannya,
misalnya makan di pasar, berjalan tanpa alas kaki atau tidak memakai tutup
kepala. Oleh karena itu, riwayat orang yang fasik dan tidak dikenal
kepribadiannya dan tingkah lakunya tidak dapat dikategorikan shohih, karena
belum jelas keadilannya.
3. Dhabit,
artinya kuat ingatan, dhabit ini ada dua macam, yakni:
a. Dhabit
Shadri, artinya ingatan rawi itu benar- benar kuat menyimpan dalam pikirannya
apa yang dia dengar, dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana
saja dikehendaki.
4. Dhabit
kitab, artinya rawi itu kuat ingatannya berdasarkan buku catatannya yang dia
tulis sejak dia mendengar atau menerima hadits dan dia mampu menjaga tulisan
itu dengan baik dari kelemahan, apabila dia meriwayatkan dari kitabnya. Hal ini
berlaku pada zaman pertama periwayatan hadits di masa lampau, sedangkan nutuk
zaman sekarang, cukup berdasarkan pada naskah- naskah yang telah di sepakati
keshahihannya.
5. Tidak ada
kejanggalan
(شذ), maksudnya adalah adanya
perlawanan antara suatu hadits yang diriwatkan oleh rawi yang dapat dipercaya (ثقة) dengan hadits yang diriwayatkan oleh
jama’ah atau kelompok orang terpercaya (ثقة) pula, disebabkan dengan adanya penambahan
atau pengurangan jumlah sanad atau tanbahan dan kekurangan dalam materi hadits.
6. Tidak ada
cacat yang parah, maksudnya cacat yang ada pada hadits yang dari segi lahir hadits
tersebut dapat diterima, tetapi setelah diselidiki dengan seksama jalur periwayatannya,
ternyata megandung cacat yang menyebabkan hadits ini ditolak.
Jika
salah satu syarat diatas tidak terpenuhi, maka ini tidak dapat dinamakan
sebagai hadits shohih.
Contoh:
Diriwatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab shahihnya, dia berkata: telah
bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah mengabarkan kepada
kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari bapaknya,
dia berkata: “ Aku telah mendengar Rosulullah membaca surat Ath- Thur dalam sholat maghrib”, maksud
perkataan mereka adalah “ هذا حديث صحيح او هذا حديث غير صحيح”. Jadi apabila mereka
mengatakan , maka maksudnya bahwa syarat yang telah disebutkan diatas telah
terpenuhi. Sedangkan jika mengatakan هذا حديث غير صحيح, maka yang dimaksud bahwa syarat tersebut
belum terpenuhi, baik sebagian ataupun semuanya.
Hal
ini menunjukkan bahwa kekuatan hadits shohih mempunya tingkatan derajat
berdasarkan pada syarat- syarat diatas. Oleh karena itu, sebagian ‘ulama hadits
menyebutkan untuk tingkatan sanad yang paling tinggi dengan istilah: انه اصح الاساند, dan setiap imam menguatkan sanad
yang menurutnya paling kuat. Diantara mereka adalah: 1) Ibnu Syihab Az- Zuhri,
dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya, 2) Muhammad bin Sirin, dari Ubaidah
bin Amru, dari Ali bin Abi Thalib, 3) Ibrahim An- Nakha’I, dari Alqamah bin Qais,
dari Abdullah bin Mas’ud, 4) Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar.
Namun
pendapat yang kuat tidak menjadi tolak ukur dalam menentukan hadits shahih atau
tidak shahih dari segi sanad, karena perbedaan tingkat keshahihan sangat ditentukan
oleh pemenuhan sanad tersebut atas syarat- syarat keshahihan sebuah hadits.
Tingkatan
hadits shahih[3]:
a. Bila
diriwatkan dengan sanad- sanad dari “اصح الاساند” seperti Imam Malik dari Nafi’ dari Ibnu
Umar.
b. Bila disepakati
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim(متفق عليه).
c. Bila
diriwatkan oleh Imam Bukhari saja.
d. Bila
diriwatkan oleh Imam Muslim saja
e. Bila sesuai
syarat keduanya meskipun tidak diriwatkan oleh keduanya
f. Bila sesuai
syarat Imam Bukhari saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya
g. Bila sesuai
syarat Imam Muslim saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya
h. Apabila
shahih menurut para ‘ulama selain Imam Bukhari dan Imam Muslim seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan tidak sesuai syarat keduanya.
Hadits shahih itu ada dua macam:
a. Shahih Lidzatihi,
dan
b. Shahih Lighairihi
Definisi shahih
lidzatihi[4]:
Menurut Hafidz Hasan
Al- Mas’udi
هَََُوَ مَا اتَّصَلَ ِاسْنَادِهِ بِتَقْلِ
اْلعَدْلِ الضََّابِطِ ضَبْطًا تَامًا عَنْ مِثْلِهِ ِالَى مُنْتَهَى السَّنَدِ مِنْ
غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ قَا
دِحَةٍ
Hadits shahih
lidzatihi adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang
adil, sempurna hafalannya dari orang yang sekualitas dengannya hingga akhir
sanad, tidak janggal dan tidak mengandung cacat yang parah.
Shahih
lidzatihi menurut bahasa sah karena dzatnya, yakni shahih dengan tidak bantuan
keterangan lain. Sedangkan menurut istilah adalah suatu hadits yang sanadnya
bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang- orang yang
adil, dhabit yang sempurna, serta tidak ada syudzudz dan tidak ada ‘illat yang
tercela[5].
Contohnya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللهِ بْنُ يُوْ سُفَ َاخْبَرَنَا مَاِلكٌ عَنْ َنا فِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ اَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ اِذَا كَانُوْا ثََلاَثَةً فَلاَ يَتَنَاجَى
ِاثْنَانِ دُوْنَ الثّاَلِثِ
Artinya:
(kata Imam Bukhari ): telah
menceritakan kepada kami,” Abdullah bin Yusuf, ( ia berkata) telah mengabarkan
kepada kami, Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bahwa Rosulullah bersabda: “ Apabila
mereka bertiga, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik- bisikkan dengan
tidak yang bersama yang ketiganya”.
Maka, pada rawi-
rawi yang ada dalam sanad hadits diatas bisa diketahui mana diantara mereka
yang tidak memenuhi syarat- syarat hadits shahih, tetapi dalam hadits diatas
sanadnya dan rawinya telah sesuai dengan syarat- syarat hadits shahih yang
harus dipenuhi sebelum hadits diatas bisa dikatakan shahih. Oleh karena itu,
apabila sanad dan rawi diatas disusun akan menjadi seperti berikut:1) Bukhori,
2) Abdullah bin Yusuf, 3) Malik, 4) Nafi’, 5) Abdulah( Ibnu Umar), 6) Rosulullah
SAW.
Jadi apabila
kita memeriksa sanad dan rawi tersebut sudah bersambung mulai dari awal hingga
akhir, sedangkan sifat yang dimiliki oleh rawi sesuai dengan apa yang harus
dimiliki oleh seorang perawi, yaitu: adil, terpercaya, dan hafalannya kuat.
Definisi shahih
lighairihi:
Menurut Hafidz Hasan Al- Mas’udi
هُوَ الْحَسَنَ لِذَاتِهِ اِذَا تَقْوَى
بِمَجِيْئِهِ مِنْ طَرِيْقٍ مُسًاوٍ لِطَرِيْقِهِ اَوْ مِنْ اَكْثَرَ وَلَوْ اَدْنَى
Hadits shahih
lighairihi adalah hadits hasan lidzatihi yang apabila menjadi kuat dengan
adanya hadits yang sama dari jalur lain, yang serupa atau lebih banyak,
sekalipun lebih rendah.[6]
Menurut Ahmad
Qodir Hasan
Shohih
lighoirihi artinya, shohih karena yang lainnya, yaitu yang jadi sah karena
dikuatkan dengan jalan (sanad). Sedangkan menurut ahli hadits, ada beberapa
macam, yaitu:[7]
a. Hadits
hasan lidzatihi, dikuatkan dengan jalan lain yang sama derajatnya, contohnya:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ
قَالَ حَدَّثَنَا اَبُوْ قُتَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الَّرحْمَنِ بْنُ عَبْدِاللهِ
بْنِ دِيْنَارٍ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَتَمَثَّلُ بِشِعْرٍ اَبِيْ
طَاِلبٍ (البخاري)
Artinya:
(Imam Bukhori berkata): telah
menceritakan kepada kami, ‘Amr bin ‘Ali, ia berkata: telah menceritakan kepada
kami, Abu Qutaibah, ia berkata: telah menceritakan kepada kami, ‘Abdurrahman bin
‘Abdillah bin dinar dari bapaknya, ia berkata: “ Aku pernah mendengar Ibnu Umar
meniru Syi’ir abi Thalib……”).
Jadi sanadnya bersambung dan rawi-
rawinya orang- orang kepercayaan dengan sempurna, hanya ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah
bin Dinar yang derajatnya kurang dari yang lainnya, tetapi tidak lemah.
b. Hadits
hasan lidzatihi, dibantu dengan beberapa sanad walaupun sanadnya berderajat rendah,
contohnya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ
حَدَّ ثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ حَدَّّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ مُحَمَّدِ
بْنِ عَقِيْلٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنَفِيَّةِعَنْ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِيِّ ص
قَالَ مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا
التَّسْلِيْمُ ( الترمذى)
Artinya:
“ (kata Turmudzi): telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, (ia berkata): telah
menceritakan kepada kami, ‘Abdurrahman, ( ia berkata): telah menceritakan
kepada kami , Sufyan, dari ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil, dari Muhammad bin Al-
Hanafiyah, dari ‘Ali, dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: “ pembuka sholat
itu adalah bersesuci, dan yang memasukkan ( seseorang ) kedalam sholat, adalah
takbir, dan yang mengeluarkan ( seseorang) dari sholat itu adalah salam”).
Jadi rawi- rawi yang ada dalam sanad
ini semua adalah orang kepercayaan, melainkan ‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Aqil saja, walaupun ia seseorang yang benar, tetapi tentang hafalannya kuat
tidaknya masih dalam perselisihan, yakni diantara ‘ulama ada yang menganggap
kuat.
c. Hadits
hasan lidzatihi atau hadits lemah yang isinya setuju dengan salah satu ayat al- qur’an,
yang cocok dengan salah satu dari pokok- pokok agama. Contohnya: diriwayatkan
dari ‘Aisyah, bahwa Rosulullah saw, bersabda:
تََنَظَّفُوْا فَاِنَّ اْلاِسْلاَمَ نَظِيْفٌ ( ابن جبان)
Artinya:
“ Berlaku bersihlah
kamu, karena sesungguhnya islam itu bersih”
Jadi hadits ini lemah, karena dalam
sanadnya ada seorang rawi bernama Ro’uf Al- Ambari, dia suka meriwayatkan hal-
hal yang ajaib dengan nama orang- orang kepercayaan, dan riwayatnya tidak
diterima.
d. Hadits
yang tidak begitu kuat, tetapi diterima baik oleh ‘Ulama- ‘ulama.
Contohya:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ وَاْلحِلُّّ
مَيْتَتُهُ
Artinya:
“Laut itu suci
airnya, dan halal bangkainya.”
Jadi hadits ini diterima oleh ‘ulama
karena diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, Daruquthni, Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan
lainnya, dari sahabat- sahabat Anas, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnul
Farisi, ‘Ali, Ibnu Umar, Abu Bakar, dan Abdullah bin Amr. Tetapi dalam semua
sanadnya ada rawi yang tercela dan ada yang diperselisihkan.
B. Pengertian
Hadits Hasan
Menurut Syaikh Manna’
Al-Qaththan
Hasan
menurut bahasa artinya baik dan bagus, sedangkan menurut istilah: “ hadits yang
sanadnya bersmbung dari permulaan, sampai akhir, diceritakan oleh orang- orang
yang adil, kurang dhabitnya, serta tidak ada syudzudz, dan ‘illat yang berat
didalamnya.”
Tingkatan hadits
hasan:
1) Bila suatu
hadits mempunyai dua sanad atau lebih, maka istilah itu maksudnya adalah salah
satu sanad berderajat hasan, dan yang lain berderajat shaih.
2) Bila
mempunyai hanya satu sanad saja, maka lafadz itu berarti bahwa hadits itu hasan
menurut pandangan sekelompok ‘ulama, dan shahih menurut pandagan ‘ulama lain.
Hadits hasan itu ada
dua macam:
1.
Hasan lidzatihi, dan
2.
Hasan lighoirihi
Definisi hasan
lidzatihi:
هُوَ مَا رَوَاهُ عَدْلٌ قَلَّ
ضَبْطُهُ مُتِّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاٍذ
Artinya:
Hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, bersambung
sanadnya, tidak mengandung cacat, dan tidak mengandung kejanggalan.
Menurut Ahmad
Qodir Hasan:
Hasan
lidzatihi menurut bahasa adalah bagus karena dzatnya, atau dirinya. Sedangkan
menurut istilah adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan
sampai akhir, diceritakan oleh orang- orang yang adil tetapi ada yang kurang
dhabit, serta tidak ada syudzudz dan ‘illat.
Contohnya:
حَدَّثَنَا اَبُوْ كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا
عَبْدَةُ ابْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِِ عَمْرٍ وَعَنْ اَبِيْ سَلَمَةَ
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص لَوْلاَ عَنْ اَشُقَّ عَلىَ اُمَّتِيْ َلاَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ
عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (الترمذي 38
1 (
Artinya:
(kata Turmudzi): telah menceritakaan kepada kami, Abu
Kuraib, telah menceritakan kepada kami, ‘Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin Amr,
dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, ia berkata: telah bersabda Rosulullah saw:”
jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintah mereka bersiwak diwaktu
tiap- tiap hendak sholat.”
Jika
kita memeriksa hadits diatas dan menyusunnya dapat diketahui apakah sanad
hadits tersebut bersambung atau tidak bersambung serta akan menjadi sebagai
berikut: 1) Turmudzi, 2) Abu Kuraib, 3) ‘Abdah bin Sulaiman,
4) Muhammad bin Amr, 5) Abi Salamah, 6) Abi Hurairah, 7) Rosulullah saw.
Karena
kalau diperiksa sanad dari Turmudzi sampai kepada Nabi Muhammad saw itu
bersambung hingga rawinya, tetapi dari semua rawi diatas ada yang kedhabitannya
kurang atau lemah hafalannya yaitu Muhammad bin Amr, dan hadits tersebut tidak
syudzudz dan ‘illatnya. Oleh karena itu, hadits diatas dinamakan hasan
lidzatihi.
Definisi hasan lighairihi:
هُوَ مَالاَ يَخْلُوْا اِسْنَاُدُهُ
عَنْ مَسْتُوْرٍ اَوْ سَيِّئِ الْحِفْظِ اَوْ نَحْوِ ذَالِكَ وَيُشْتَرَطُ فِيْهِ
ثَلاَثَةُ شُرُوْطٍ َاْلاوَّلُ اَنْ لاَ يَكُوْنَ مُغَفَّلاً كَثِيْرَ الْخَطَاءِ
فِيْمَا يَرْوِيْهِ الثَّانِي اّنْ لاَ يَظْهَرَ مِنْهُ مُفْسِقٌ الثَّالِثُ
اَنْ يَكُوْنَ حَدِيْثُهُ قَدْ عُرِفَ بِاَنْ رُوِيَ مِثْلُهُ اَوْ نَحْوُهُ
مِنْ وَجْهٍ اَخَرَ اَوْ اَكْثَرَ
Artinya:
“ hadits yang
sanadnya tidak sepi dari seseorang yang tidak jelas perolakunya atau kurang
baik hafalannya dan lain- lainnya. Hadits hasan lighairihi ini harus memenuhi
tiga syarat: 1) bukan pelupa yang banyak salahnya dalam hadits yang
diriwayatkan, 2) tidak tampak ada kefasikan pada diri perawinya, 3) hadits yang
diriwayatkan benar- benar telah dikenal luas, karena ada periwayatan yang
serupa dengannya atau semakna, yang diriwayatkan dari satu jalur lain atau
lebih.
Hasan
lighairihi menurut bahasa bagus karena yang lainnya, yakni satu hadits menjadi
hasan karena dibantu dari jalan lain. Sedangkan menurut istilah ialah suatu
hadits yang dalam sanadnya ada: rawi masthur( rawi yang tidak diketahui
keadaannya) atau rawi yang kurang kuat hafalannya, rawi mudallis( rawi yang
menyamarkan) atau rawi yang pernah keliru dalam meriwayatkan, atau rawi yang
pernah salah dalam meriwayatkan, lalu dikuatkan dengan jalan lain yang
sebanding dengannya.
Contohnya:
حَدَّثَنَا اَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَزٍيْدَ
بْنِ اَبِيْ زِيَادٍ عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ اَبِيْ لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ
بْنِ عَاِزٍب قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ اَنْ يَغْتَسِلُوْا
يَوْمَ الْجُمُعَةِس )الترمذي 319
2 (
“ (kata Turmudzi):
telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’, telah menceritakan kepada
kami, Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Abdirrahman bin Abi Laila, dari Al-Bara’
bin ‘Azib, ia berkata: telah bersabda Rosulullah SAW: “ Sesungguhnya satu
kewajiban atas orang- orang islam mandi pada hari jum’at”.
Sanad
diatas apabila disusun secara teratur akan menjadi sebagai berukut: 1) Turmudzi,
2) Ahmad bin Mani’, 3) Husyaim, 4) Yazid bin Abi Ziyad, 5) Abdirrahman bin Abi Laila,
6) Al-Bara’ bin ‘Azib, 7) Rosulullah SAW.
Dari
semua rawi- rawi yang ada pada sanad diatas adalah terpercaya kecuali Husyaim,
karena dia terkenal sebagai mudallis (samar dalam riwayatnya). Oleh sebab itu,
maka sanadnya dianggap lemah dan hadits ini dikuatkan dengan riwayat lain yang
berasal dari Turmudzi juga, yaitu: 1) Turmudzi, 2) Ali bin Hasan Al- Kufi, 3) Abu
Yahya Ismail bin Ibrahim At- Taimi, 4) Yazid bin Abi Ziyad, 5) Abdirrahman bin
Abi Laila, 6) Al- Bara’ bin ‘Azib, 7) Rosulullah SAW. Dari sanad dan rawi ini
juga semuanya terpercaya, melainkan abu yahya yang dianggap lemah. Jadi sanad
pertama ada perawi yang dianggap lemah kemudian dibantu oleh sanad yang kedua
atau yang lainnya, maka hadits pertama dinamakan hasan lighairihi.
C. Pengertian
Hadits Dha’if