Selasa, 29 Mei 2012

ushulul fiqih

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
    Di saat dunia membahas persoalan syari’at islam timbul banyak perbedaan dalam mengambil sebuah  hukum atau menyelesaikan suatu masalah, karena antara zaman sebelum Nabi Muhammad SAW dan sesudahnya banyak para ulama’ yang berbeda pendapat apakah syari’at yang ada sebelum nabi itu bisa di pakai sebagai sumber hukum. Serta banyaknya ulama’ ahli fiqih yang pro dan kontra tentang berlakunya hukum syari’at sebelum Nabi, karena adakalanya hukum pada saat itu ada yang hanya berlaku pada Nabi sebelum Nabi Muhammad tetapi tidak berlaku kepada Nabi Muhammad dan ummatnya. Akan tetapi, dalam masalah akidah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishas, dan hukuman bagi tindak pidana pencurian tidak ada yang berbeda pendapat.
    Pada zaman itu pula terdapat persoalan yang membahas tentang sesuatu jalan yang membawa kepada suatu hal yang dilarang dan mengandung kemudharatan.
Dalam kaitan itu pula, apabila ada perbuatan baik yang yang mengandung atau mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah atau disumbat agar tidak terjadi kerusakan.
    Oleh karena itu, kami sangat tertarik untuk mengangkat sebuah judul yang mungkin cukup membantu bagi pembaca dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi di zaman sekarang. Maka, kami mengangkat judul” Syar’u Man Qoblana & Saddud Dzari’ah” yang cukup membahas hokum-hukum syari’at islam.
B.    Rumusan Masalah
1)    Bagaimana definisi Syar’u Man Qoblana
2)    Bagaimana definisi Saddud Dzari’ah
3)    Bagaimana kehujjahan Syar’u Man Qoblana & Saddud Dzari’ah




C.    Tujuan
1)    Menjelaskan definisi Syar’u Man Qoblana
2)    Menjelaskan definisi Saddud Dzari’ah
3)    Menjelaskan kehujjahan Syar’u Man Qoblana & Saddud Dzari’ah







































BAB II
KAJIAN MATERI
A.    Pengertian Syar’u Man Qoblana       
        Syar’u Man Qoblana adalah syari’at sebelum islam. Dalam kaitan itu, para ulama’ Ushulul Fiqih membahas persoalan yang berkenaan dengan syari’at sebelum islam, apakah hukum-hukum yang ada sebelum islam menjadi hukum juga bagi umat islam. Oleh karena itu, ulama’ Ushulul Fiqih sepakat mengatakan bahwa seluruh syari’at yang di turunkan oleh Allah sebelum islam melalui para Rasul-Nya telah di batalkan secara umum oleh syari’at islam. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa pembatalan syari’at-syari’at sebelum islam itu tidak secara  menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum islam yang masih berlaku dalam syari’at islam, sepertii beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishas dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian.
A.    Kedudukan dan Macam-macam Syar’u Man Qoblana
    Syari’at umat sebelum kita, maksudnya yaitu:
مانقل الينا من الاحكام التي شرعها الله سبحانه للا مم السابقة بواسطة انبيائه الذين ارسلهم الى تلك الا مم كسيدنا ابراهيم وموسى وعيسى
Artinya:”Segala apa yang di nukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara’ yang telah di syari’atkan Allah SWT. Bagi umat-umat dahulu melalui Nabi-nabi-Nya yang di utus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa AS.”
    Dari semua syari’at sebelum islam banyak kalangan ulama’ Ushulul Fiqih mempertentangkan atau saling beda pendapat tentang syari’at itu, apakah  kita masih tetap harus mengikuti sebagian saja dan sebagian yang lainnya tidak atau sama sekali tidak dapat dijadikan syari’at umat sekarang.
    Ada ulama’ yang bersikap tegas dalam mengatakan bahwa syari’at-syari’at yang telah di syari’atkan pada umat-umat  terdahulu telah di mansukh dalam segala bentuknya, dengan beralasan sebuah firman Allah SWT.:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya:”Barang siapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-sekali tidaklah akan di terima (agama itu) daarinya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi.”
        Namun, sebagian ulama’ lainnya menyatakan bahwa tidak semua syari’at-syari’at itu di nasakh, karena ada yang tidak di nasakh dan berlaku sampai saat ini, seperti kewajiban beriman kepada Allah SWT, melarang kekafiran, mengaharamkan zina, pencurian dan pembunuhan. Serta syari’at yang berlaku dalam agama samawi yang di turunkan Allah kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. sering pula di ceritakan dalam Al-Quran dan As-Sunnah kepada semua umat islam yang bentuk cerita tersebut di bedakan menjadi tiga dan masing-masing mempunyai konsekuensi yang berbeda bagi umat islam, yaitu:
1.    Di sertai dengan petunjuk tentang sudah di nansakhkannya dalam syari’at islam.
2.    Di sertai dengan petunjuk tetap di akuinya dan lestarinya dalam syari’at islam.
3.    Tidak di sertai petunjuk tentang nasakh atau lestarinya.
A.    Pengertian Dzari’ah
    Secara etimologi Dzari’ah adalah jalan menuju kepada sesuatu atau yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, menurut  Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah (691-751/ 1292-1350 M/ ahli fiqih Hambali), mengatakan bahwa dalam pembatasan pengertian dzari’ah yang berkaitan dengan sesuatu yang membawa ke jalan yang di larang saja masih belum tepat , karena ada juga dzari’ah yang bertujuan untuk di anjurkan. Oleh sebab itu, Ibnu Qoyyim memberi  pengertian secara umum, sehingga mengandung dua pengertian yaitu:
1)    Saddud Dzari’ah, sesuatu yang di larang.
2)    Fathu Dzari’ah,yang menganjurkan kepada yang baik.
Yang di maksud dengan Saddud  Dzari’ah, yaitu:
حسم مادة وسائل الفساد دفعا له اوسدالطريق التي توصل المرء الى الفساد
Artinya:”mencegah/ menyambut sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyambut  jalan yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan.”
Sedangkan menurut Imam Asy-Syatibi adalah:
التوصل بما هومصلحة الى مفسدة
Artinya:”melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).”
    Maksudnya, seseorang yang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dicapai berakhir pada suatu kemafsadatan dan agar tidak terjadi kerusakan hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah atau disumbat.
 Contohnya, mencegah orang minum seteguk minuman keras  sekalipun tidak memabukkan untuk menyumbat tidak minum sampai banyak, melihat aurat  perempuan yang bukan muhrim untuk menyumbat jalan perzinaan , dan seseorang yang dikenahi wajib zakat jika sudah waktunya mengeluarkan zakat (satu nisab dan haulnya), tetapi untuk menghindari zakat tersebut di hibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga kewajiban zakat menjadi gugur. Jadi, yang menjadikan larangan disini adalah tujuan menghibahkan sebagian harta itu untuk menghindari kewajiban zakat yang jatuh padanya.
    Sedangkan yang di maksud dengan fathu dzari’ah menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, yaitu: suatu perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan di wajibkan syara’, seperti meninggalkan segala aktifitas untuk melaksanakan sholat jum’at yang hukumnya wajib.
     Akan tetapi, pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti di atas tidak termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai muqoddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Jadi dalam melakukan suatu perbuatan yang hukumnya wajib harus sesuai dengan kaidah:
مالايتم الواجب الابه فهو واجب
Artinya:”apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib.”
    Begitu sebaliknya, segala jalan yang dapat menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun haram, sesuai dengan kaidah:
مادل على حرام فهو حرام
Artinya:”segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan.”
    Misalnya, seorang laki-laki haram berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrin atau melihat auratnya, karena perbuatan tersebut akan membawa perzinahan. Menurut jumhur ulama’, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).
    Menurut Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai fathu dzari’ah, sedangkan ulama’ Syafi’iyah, Hanafiyah dan sebagian ulama’ Malikiyah menyebutnya sebagai muqoddimah, tidak termasuk dzari’ah. Namun mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.  
B.    Kehujjahan Syar’u Man Qoblana Dan Saddud Dzari’ah
1.    Syar’u Man Qoblana
        Para ulama’ Ushulul Fiqih sepakat bahwa syari’at  sebelum  islam atau sebelum Nabi Muhammad bila tercantum atau diceritakan dalam al-quran dan as-sunnah, serta di wajibkan pada umat dahulu maka di wajibkan pula pada Nabi Muhammad dan umatnya. Misalnya, puasa Ramadhan yang diwajibkan kepada umat islam  adalah  syari’at sebelum  islam, dalam firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِين مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
     Artinya:”hai orang-orang yang beriman, di wajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana di wajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa,”(QS. Al-Baqarah: 183)
        Adapun hukum-hukum syari’at sebelum islam yang ada ketegasan berlakunya bagi umat islam dalam al-quran, maka hukum-hukum itu berlaku dan mengikat bagi umat islam, seperti puasa dan penyembelihan binatang.
    Selain itu pula terdapat hukum-hukum yang tercantum dalam al-quran, tetapi tidak ada ketegasan berlakunya bagi umat islam, namun hukum itu berlaku bagi umat sebelum islam dan tidak ada pembatalan dari al-quran atau as-sunnah. Misalnya, persoalan qishash dalam syari’at kaum Yahudi di zaman
    Nabi Musa yang tercantum atau diceritakan dalam al-quran:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
    Artinya:”dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurah) bahwasanya jiwa di balas jiwa,mata dengan mata, hidung dengan hidung, teling dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang di turunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim.”(QS. Al-Maidah: 45)
        Akan tetapi, dari sekian banyak dalil naqli tentang qishash hanya qishash pembunuhan yang di tegaskan berlakunya bagi umat islam, seperti firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
    Artinya:”hai orang-orang yang beriman, di wajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang di bunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan wanita dengan wanita,. Maka barang siapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang di beri maaf membayar kepada yang memberi maaf dengancara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamudan suatu rahmat. Barang siapa yang melampui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”(QS.Al-Baqarah: 178)
        Dari bentuk-bentuk qishas yang lainnya dalam Surat Al-Maidah: 45 diatas para ulama’ fiqih yang terdiri dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama’ Syafi’iyah dan salah satu riwayat Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa hukum-hukum syari’at sebelum islam itu di sampaikan kepada Rasulullah SAW. melalui wahyu, yaitu Al-Quran, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah dan tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum tersebut. Alasan mereka di antaranya adalah:
1)    Syari’at sebelum syari’at islam itu juga syari’at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalan syari’at tersebut, karena itu umat islam terikat dengan syari’at sebelum islam. Hal itu, sesuai dengan firman Allah:
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
Artinya:”mereka itulah orang-orang yang telah di beri petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran).” Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat.”(QS. Al-An’am: 90)
Dalam ayat lain Allah berfirman: 
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya: “kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad) : ikutilah agama Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl: 123)
Dalam ayat yang lain pula Allah berfirman untuk mrngikuti syari’at Nabi Nuh AS., yaitu:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
Artinya: “dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah di wasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentang-Nya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepada-Nya. Allah menarik kepada agama itu orang yang di kehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang di kembali (kepada-Nya).”
2)    Selain itu mereka beralasan dengan sabda Rasulullah SAW, yaitu:
من نام عن صلاة اونسيها فليصلها اذاذكرها قرء قوله تعالى
واقم الصلاة لذكري
Artinya: “siapa yang tertidur dan lupa untuk shalat, maka kerjakanlah shalat itu ketika ia ingat atau bangun, kemudian Rasulullah SAW membacakan ayat: “kerjakanlah shalat itu untuk mengingatku.”(HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Abu Dawud)
            Menurut Jumhur ulama’, ayat yang di bacakan Rasulullah SAW dalam sabda beliau diatas merupakan ayat yang ditujukan kepada Nabi Musa.
        Sedangkan menurut para ulama’ Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan Syafi’iyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa syari’at sebelum islam yang disebut dalam Al-Quran tidak menjadi syari’at bagi umat Nabi Muhammad SAW., kecuali ada ketegasan untuk itu dan mereka beralasan sebagai berikut:   
1)    Firman Allah:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
    Artinya:”dan kami telah turunkan kepadamu al-quran dengan membawa kebenaran, memebenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu di jadikannya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu di beritahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. Al-Maidah: 48)
        Jadi dari ayat diatas menunjukkan bahwa setiap umat itu mempunyai syari’at tersendiri. Itu berarti syari’at Nabi yang terdahulu tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.
2)    Ketika Mu’az bin Jabal di utus untuk menjadi hakim di Yaman, Rasulullah bertanya kepadanya:
عن الحارث بن عمروعن رجال من اصحاب معاذ ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث معاذا الى اليمن فقال كيف تقضي فقال اقضي بما في كتاب الله قال فان لم يكن في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فان لم يكن في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال اجتحد رءيي قال الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله صلى الله عليه وسلم
    Artinya:”Dari Al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, “atas dasar apa anda memutuskan suatu persoalan”, dia jawab, “dasarnya adalah Kitab Allah”, Nabi bertnaya: “kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjwab “dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi: “kalau tidak anda temukan dalam Sunnah Rasulullah?”, Mu’az menjawab” aku akan berijtihad dengan penalaranku”, maka Nabi berkata:”segala pujian bagi Allah yang telah member taufik atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmidzi)
3)    Syari’at islam merupakan syari’at yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan syari’at umat sebelum islam hanya berlaku bagi kaum tertentu. Dalam hadits Rasululllah SAW bersabda:
كان النبي يبعث الى قومه خاصة وبعثت الى الناس عامة
            Artinya:”para Nabi di utus khusus untuk kaumnya dan saya di utus untuk seluruh umat manusia.”(HR. Bukhari, Muslim, dan An-Nasa’i)
    Dari ketiga pendapat di atas, ada yang berpendapat yaitu Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya “Ilmu UShulul Fiqih” menjelaskan bahwa pendapat yang pertama paling kuat, karena syari’at islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syari’at islam. Maka hukum-hukum syari’at sebelum islam yang dalam Al-quran tanpa ada ketegasan bahwa telah di nasakh (dihapus) itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Mustafa Dib Al-Bugha (guru besar Ushulul Fiqih Universitas Damaskus, Syiria) mengemukakan bahwa hukum-hukum syari’at sebelum islam tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum islam, kecuali apabila ada nash dalam Al-Quran atau As-Sunnah, maka secara otomatis hukum-hukum itu wajib dilaksanakan umat islam.akan tetapi, Muhammad Abu Zahrah menyatakan syari’at sebelum itu di nyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu berlaku khusus bagi mereka yang terdahulu, maka bagi umat islam tidak wajib mengikutinya. Namun, hukum-hukum itu bersifat umum maka hukum tersebut juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti qishash dan puasa. 
2.    Saddud Dzari’ah
    Di kalangan ulama’ Ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menggunakan saddud dzari’ah sebagai hujjah. Di antaranya yaitu:
1.    Imam Malik dan Imam Ibnu Hambal, mereka berasalan antara lain:
1)    Firman Allah SWT. Dalam surat Al-An’am: 108
ولاتسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوابغير علم كذالك زينا لكل امة عملهم ثم الى ربهم مرجعهم فينبعهم بماكانوا يعملون
Artinya: “janganlah kamu cerca(berhala-berhala) yang mereka sembah, selain dari pada Allah, nanti mereka mencerca Allah pula dengan aniaya, tanpa ilmu pengetahuan. Demikianlah Kami hiaskan bagi tiap umat amal perbuatannya, kemudian tempat kembali mereka kepada Tuhannya, lalu Allah mengabarkan kepada mereka apa-apa yang mereka perbuat.”
2)    Hadis Rasulullah SAW. Antara lain:
ان من اكبر الكبا ئر ان يلعن الرجل والديه .قيل: يارسول الله, كيف يلعن الرجل ولديه؟ قال: يسب اباالرجل فيسب اباه, ويسب امه فيسب امه.)رواه البحارى ومسلم وابوداود(   
Artinya: “sesungguhnya sebesar-sebesar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW. Menjawab, seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain,maka orang lain pun akan mencaci ibunya.
2.    Ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah menerima saddud dzari’ah menjjadi sebuah dalil dalam masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerima apabila dalam keadaan udzur, misalnya seorang musafir atau orang sakit di bolehkan meninggalkan shalt jum’at dan boleh menggantinya dengan shalat dzuhur. Akan tetapi, harus secara diam-diam, agar tidak menimbulkan prasangka buruk atau di tuduh meninggalkan shalat tersebut. Sedangkan menurut Syafi’iyah dzari’ah masuk kedalam dasar yang sudah diterapkan yaitu qiyas dan Hanafiyah yaitu istihsan.
3.    Imam Al-Qarafi mengatakan:
ان الذريعة كما يجب سدها يجب فتحها ويكره ويندب ويباح فان الذريعة هي الوسيلة فكما ان الوسيلة الواجب واجبة كالسعي للجمعة والحج.
            Artinya: “sesungguhnya dzai’ah ini, sebagaimana wajib kita menyumbatnya, wajib pula kita membukanya. Karena dzari’ah dimakruhkan, disunnahkan, dan dimudahkan. Dzari’ah adalah wasilah, sebagaimana dzari’ah yang haram diharamkan dan wasilah kepada yang wajib diwajibkan, seperti berjalan menunaikan shalat jum’at dan berjalan menunaikan ibadah haji.”
4.    Wahbah Az-Zuhaili membagi menjadi empat macam:
a)    Perbuatan itu dapat dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan. Misalnya, mengali lubang di tempat gelap di depan pintu gerbang tempat lalu lintas umum.
b)    Perbuatan itu mengandung kemungkinan, meskipun kecil, akan membawa kepada sesuatu yang di larang. Misalnya, menjual buah anggur kepada orang yang bukan sebagai produsen khamr.
c)    Perbuatan yang pada dasarnya adalah mubah, namun kemungkinan akan membawa kepada kebinasaan lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatan yang akan di raih. Misalnya, menyewakan rumah kebandar judi, mencaci maki berhala orang-orang musyrik.
d)    Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi disamping itu dilihat kepada pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya, si A menjual sesuatu benda dengan harga Rp1.000.000,- dengan cara berhutang pada si B, dan ketika itu benda tersebut dibeli kembali oleh si A seharga Rp800.000,- dengan cara tunai, sehingga hasilnya si B mengantongi uang Rp800.000,- dan nanti pada waktu yang telah ditentukan harus di bayar Rp1000.000,-. Jual beli seperti ini dikenal dengan ba’i al-‘ainah.
Dengan demikian, dalam saddud dzari’ah kita sebagai orang yang mengerti harus mengetahui akan bahaya menggunakan atau meningalkannya. Karena  dalam saddud dzari’ah harus menarjih dulu yang mana dari semua itu yang paling tarjih(unggul).


























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1)    Syar’u Man Qoblana adalah  syari’at islam  yang ada sebelum islam atau syari’at sebelum Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, dari kalangan  ulama’ ushulul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan syari’at sebelum islam, apakah syari’at itu bisa di pakai atau berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Dari semua itu banyak yang berpendapat bahwa semua syari’at islam di nasakh dan ada yang tidak, maka hukum-hukum syari’at yang berhubungan dengan masalah akidah, hukum qishash, pembunuhan, pencurian dan lain-lain.
2)    Syaddud dzari’ah adalah mencegah/ menyambut sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyambut  jalan yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan
3)    Kehujjahan dari Syar’u Man Qablana banyak yang berpendapat bahwa semua syari’at sebelum islam di nasakh bagi umat Nabi Muhammad. Akan tetapi ada yang berpendapaat syari’at sebelum islam bisa di pakai dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan islam. Misalnya, kewajiban puasa yang diwajibkan dari umat sebelum Nabi Muhammad SAW masih berlaku pula untuk umat Nabi pula. Sedangkan untuk  syaddud dzariah semuanya sepakat tidak menggunakannya sebagai syari’at islam tetapi tergantung implikasinya pada hukum.








DAFTAR PUSTAKA
v    Bakry, Sidi Nazar. 2003.Fiqih dan Ushulul Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
v    Syafe’I, Rachmat. 1999. Ilmu Ushulul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
v    Umam, Caherul, dkk. 2000. Ushulul Fiqih I. Bandung: Pustaka Setia.
v    Zein, M, Effendi Satria.2009. Ushulul Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar