BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah Swt., lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.
Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin.
Oleh karena itu, kami sangat tertarik untuk mengangkat sebuah judul “WAKAF”yang mungkin cukup membantu bagi pembaca dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi di zaman sekarang.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian, Unsur-unsur, & Macam-macam Wakaf
2. Dasar Hukum Wakaf & Cash Wakaf
3. Pandangan Para Fuqaha’ Tentang Wakaf & Cash Wakaf
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian, Unsur-unsur, & Macam-macam Wakaf
2. Menjelaskan Dasar Hukum Wakaf & Cash Wakaf
3. Menjelaskan Pandangan Para Fuqaha’ Tentang Wakaf & Cash Wakaf
BAB II
KAJIAN MATERI
A. Pengertian, Unsur-unsur, dan Macam-macam Wakaf
Menurut pengertian bahasa, kata wakaf diambil dari bahasa Arab, kata benda abstrak (maşdar) وقف atau kata kerja (fi`il) وقف- يقف yang dapat berfungsi sebagai kata kerja intransitif (fi`il lâzim) atau transitif (fi`il muta`âdi) yang berarti menahan, mewakafkan, harta yang diwakafkan, harta wakaf. Dan kata wakaf ini dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama dengan beberapa kata di antaranya: ( حبس - احبس – صدقـة – تحريم – سبيل – يسبل - سبل ). Ada yang berpendapat sebagai berikut:
الوقف بمعنى التحبيس والتسبيل
Artinya: “menahan, menahan harta untuk di waqafkan, tidak di pindah milikkan.”
Sedangakan menurut yang lainnya tentang wakaf yaitu:
وهو لغة الحبس وشرعا حبس مال معين قابل للنقل يمكن الإنتفاع به مع بقاء عـينه
Artinya: “wakaf menurut bahasa adalah menahan, sedangkan menurut syara’ adalah menahan sesuatu harta tertentu yang dipindahkan & memungkinkan dapat di ambil manfaatnya, sedangkan barangnya masih tetap terus (kekal).”
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi wakaf, di antaranya:
1. EJ. Bill Leiden dalam The Shorter Encyclopaedia of Islam sebagaimana dikutip oleh Muhamad Daud Ali menyatakan bahwa wakaf adalah to protect a thing, to provent it from becoming the property of a third person (memelihara suatu barang atau benda dengan jalan menahannya agar tidak menjadi milik pihak ketiga).
2. Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
3. Mayoritas ahli fiqih (pendukung mazhab Hanafi, Syafi`i, dan Hambali) merumuskan pengertian wakaf menurut syara sebagai berikut:
حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقظع التصرف في رقبته على مصرف مباح موجود
"Penahanan (pencegahan) harta yang mungkin dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya dengan cara tidak melakukan tindakan pada bendanya disalurkan kepada yang mubah (tidak terlarang) dan ada"
4. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu:
Menahan harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.
Dari definisi-definisi di atas dapat dikemukakan karakteristik wakaf, yaitu: adanya penahanan (pencegahan) dari menjadi milik dan obyek pemilikan, yang diwakafkan berupa harta, dapat dimanfaatkan (mengandung manfaat), tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan disalurkan kepada hal-hal yang tidak dilarang oleh ajaran Islam.
Penyelenggaraan wakaf harus memenuhi empat unsur, yaitu:
1. Wâkif, yakni pihak yang menyerahkan wakaf;
2. Mauqûf 'alaih, yakni pihak yang diserahi wakaf;
3. Mauqûf Bih, yakni benda atau manfaat benda yang diwakafkan;
4. Şigat atau iqrâr, yakni pernyataan penyerahan wakaf dari pihak wakif.
Wakaf itu adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang fakir miskin. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf ahli atau wakaf żurri (wakaf keluarga). Bila wakaf tersebut diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata, maka wakaf seperti ini disebut wakaf ħairi.
Kemudian ada pula wakaf tunai (cash wakaf) yang pengembangannya sudah di praktekkan sejak dahulu. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf tunai sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy.
وروى أبو ثور عن الشافعي جوز وقفها اى الدنانير و الدراهيم
LEMBARAN KERTAS
“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham.”
Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam melegitimasi wakaf tunai. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai beikut :
1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lenmbaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
Kebolehan wakaf tunai, menurut MUI, tidak bertentangan dengan definisi wakaf yang telah dirumuskan oleh mayoritas ulama dengan merujuk kepada hadits-hadits tentang wakaf. Definisi yang populer di kalangan ulama sebagai berikut :
حبس مال يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع في رقبته على مصرف مباح موجود
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau popoknya dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan mewariskan), untuk disalurkan hasilnya pada sesuatu yang mubah ( tidak haram) yang ada.
Dalam pasal UU No 41/2004 tentang Wakaf, masalah wakaf tunai disebutkan pada empat pasal, (pasal 28,29,30,31), bahkan wakaf tunai secara khusus dibahas pada bagian kesepuluh Undang-Undang tersebut dengan titel “Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang”.
Pasal 28 Undang-Undang Wakaf berbunyi sebagai berikut :
“Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.”
Dari pasal 28 dapat ditarik tiga kesimpulan penting :
1. Legalitas wakaf tunai sangat jelas dan tidak perlu diperselisihkan lagi.
2. Pengelolaan wakaf uang melalui lembaga keuangan syari’ah.
3. LKS ditunjuk oleh Menteri
B. Dasar Hukum Wakaf & Cash Wakaf
Dalil yang menjadi dasar disyariatkan ibadah wakaf bersumber dari:
a) Ayat al-quran, yaitu:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ.
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
b) Hadis yang di jadikan landasan hukum amalan wakaf adalah:
حدثنا يحيى ابن أيوب وقـتيبة يعني ابن سعيد وابن حجر فالو حدثنا إسماعيل هو ابن جعفار عن العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صل الله عليه وسلم قال إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله ألا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أوعلم لا ينتفع به أو ولد صالح يدعونه
Artinya: “ Rasulullah bersabda: “ apabila manusia meninggaal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.”
Adapun penafsiran shodaqoh jariyah dalam hadis tersebut adalah:
“Hadis tersebut dikemukakan dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shodaqoh jariyah dengan wakaf.’
Dalam hadis diatas para ahli tafsir menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf, karena pahala wakaf tidak akan terputus sepanjang pokok harta tersebut tetap ada. Jumhur ulama’ termasuk madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali mendifinisikan wakaf dengan menahan harta yang dapat di ambil manfaatnya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, serta benda yang di wakafkan tetap ada dan manfaatnya digunakan di jalan Allah SWT.
Sedangkan Cash Wakaf (wakaf tunai) menggunakan dasar hukum Al-Quran, Hadis, Ijma’, sama halnya dengan wakaf tanah. Dalil yang menjadi landasan hukum cash wakaf, yaitu:
a) Ayat al-quran, yaitu:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.(261). Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati(262)”.
b) Hadis Nabi, yaitu:
Artinya: “dari ibnu umar, ia berkata:” umar mengatakan pada nabi, saya mempunyai seratus dirham di khaibar, saya belum ernah mendapat harta yang paling saya kagumi seerti itu, tetapi saya ingin menyedekahkannya.” Nabi mengatakan kepada umar : “ tahanlah pokoknya dan jadikanlah hasilnya sedekah untuk sabilillah.
C. Pandangan Fuqaha tentang Wakaf & Cash Wakaf
a. Tentang wakaf
1. Abu Hanifah
Abu Hanifah mengartikan wakaf sebagai şadaqah yang kedudukannya seperti 'ariyah, yakni pinjam meminjam. Perbedaan antara keduanya terletak pada bendanya. Dalam 'ariyah, benda ada di tangan si peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Sedangkan benda dalam wakaf ada di tangan si pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Dengan demikian, benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif sepenuhnya, hanya manfaatnya saja yang dişadaqahkan. Oleh karena itu, wakaf tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti gair lâzim, kecuali dalam tiga hal, yaitu: (1) wakaf masjid, (2) apabila hukum wakaf itu diputuskan oleh hakim, dan (3) apabila benda wakaf itu dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf wasiat.
Mengenai akad wakaf dinyatakan oleh semua mazhab sebagai 'aqad tabarru', yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qâbul dari pihak penerima dan dicukupkan atas ijâb si wakif.
2. Imam Malik
Menurut teori Imam Malik, wakaf itu mengikat dalam arti lâzim, tidak mesti dilembagakan secara abadi dalam arti mu'abbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu (mu'aqqat). Namun demikian, wakaf itu tidak boleh ditarik di tengah perjalanan. Dengan kata lain, si wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum habis tenggang waktu yang telah ditetapkannya. Harta atau benda yang diwakafkan adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis dan tahan lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si wakif tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut (taşarruf) selama masa wakafnya belim habis. Jika dalam şigat atau ikrar wakaf itu tidak menyatakan dengan tegas tenggang waktu perwakafan yang ia kehendaki, maka dapat diartikan bahwa ia bermaksud mewakafkan hartanya itu untuk selamanya (mu'abbad). Landasan hukum yang dijadikan rujukan Imam Malik adalah hadis Ibn 'Umar yang berbunyi:
حدثنا قتيبة ابن سعيد حدثنا محمد ابن عبد الله الأنصاري حدثنا ابن عون قال انبأني نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما ان عمر ابن الخطاب أصاب أرضابخيبرفأتى النبي صلعم يستأمره فيهافقال يارسول الله اني أصبت أرضالم أصب قط مالاأنفس عندي منه فماتأمرني فيه؟ قال ان شئت حبست أصلهاوتصدقت بهاغيرعلى أنه ولايباع أصلهاولايبتاع ولايوهب ولايورث قال فتصدق بهاعمر فى الفقراء وذوالقربى والرقاب وابن السبيل.و الضيف لاجناح على من وليهاأن يأكل منهابالمعروف ويطعم غيرمتمول "وفى اللفط" غيرمتأثل مالا
…Umar memperoleh tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah Saw. meminta untuk mengolahnya seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?" Nabi bersabda: Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya dan sedekahkan hasil hasilnya. Kemudian Umar sedekah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Umar menyedekahkan kepada faqir miskin, kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu, dan tidak berdosa bagi orang yang menguasai tanah itu memakan dari hasilnya dengan cara sepantasnya dan memberikan makanan tanpa menyimpan harta untuk dirinya sendiri.
Imam al-Syafi'i menamakan wakaf dengan istilah al-şadaqat, al-şadaqat al-muharramat, al-Hadaqat al-muharramat al-mauqûfat. Selanjutnya ia membagi jenis pemberian ke dalam dua macam, yaitu: (1) pemberian yang diserahkan si pemberi ketika ia masih hidup dan (2) pemberian yang diserahkan ketika si pemberi telah wafat. Menurut pendapat al-Syafi'i, Status hukum wakaf dan al-'itq (pembebasan hamba sahaya) adalah sama berdasarkan qiyâs. Keduanya dianggap memiliki kesamaan 'illat, yaitu kemerdekaan dalam al-'itq sama dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. Al-Syafi'i berpegang kepada persamaan antara kedua status hukum institusi tersebut dari segi adanya bentuk penyerahan benda atau harta itu kepada Allah sehingga si harta itu menjadi milik Allah. Oleh karena itu, dalam kedua kasus hukum tersebut terdapat persamaan, yaitu pelepasan milik si wakif sehingga menjadi milik Allah.
3. Imam al-Syafi'i
Imam al-Syafi'i menamakan wakaf dengan istilah al-؛adaqat, al-؛adaqat al-muharramat, al-∏adaqat al-muharramat al-mauqûfat. Selanjutnya ia membagi jenis pemberian ke dalam dua macam, yaitu: (1) pemberian yang diserahkan si pemberi ketika ia masih hidup dan (2) pemberian yang diserahkan ketika si pemberi telah wafat. Menurut pendapat al-Syafi'i, Status hukum wakaf dan al-'itq (pembebasan hamba sahaya) adalah sama berdasarkan qiyâs. Keduanya dianggap memiliki kesamaan 'illat, yaitu kemerdekaan dalam al-'itq sama dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. Al-Syafi'i berpegang kepada persamaan antara kedua status hukum institusi tersebut dari segi adanya bentuk penyerahan benda atau harta itu kepada Allah sehingga si harta itu menjadi milik Allah. Oleh karena itu, dalam kedua kasus hukum tersebut terdapat persamaan, yaitu pelepasan milik si wakif sehingga menjadi milik Allah.
b. Tentang Cash Wakaf
1. Ulama Hanafiyah
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang sah diwakafkan adalah benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda yang tidak bergerak dipastikan a’in-nya
memiliki sifat yang kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terus menerus.
Untuk wakaf benda bergerak dibolehkan berdasarkan atsar yang membolehkan
mewakafkan senjata dan binatang-binatang yang dipergunakan untuk perang. Begitu juga dengan wakaf benda bergerak seperti buku atau kitab-kitab, menurut ulama
Hanafiyah, pengetahuan adalah sumber pemahaman dan tidak bertentangan dengan nash. Mereka menyatakan untuk mengganti benda wakaf yang dikhawatirkan tidak kekal
adalah memungkinkan kekalnya manfaat. Menurut mereka mewakafkan buku-buku dan mushaf dimana yang diambil adalah pengetahuannya, kasusnya sama dengan mewakafkan dirham dan dinar (uang).
Wahbah Az-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan Bi Al-Urfi, karena sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf atau adat kebiasaan mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
2. Ulama Malikiyah
Ulama pengikut mazhab maliki berpendapat boleh mewakafkan benda bergerak maupun tidak bergerak. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa ulama mazhab Maliki membolehkan wakaf makanan, uang dan benda bergerak lainnya, lebih lanjut wahbah Az-Zuhaili juga menjelaskan bahwa wakaf uang dapat diqiyaskan atau dianalogikan dengan baju perang dan binatang, sebab terdapat persamaan illat antara keduanya.
Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang mungkin rusak dalam jangka waktu tertentu. Hal ini juga menunjukkan bahwa Imam Maliki membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu. Namun apabila wakaf uang jika dikelola secara profesional memungkin uang yang diwakafkan akan kekal selamanya.
3. Ulama Syafi’iyah
Mazhab Syafi’I berpendapat boleh mewakafkan benda apapun dengan syarat barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya , baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak.11 Namun Imam Syafi’I mencegah adanya tukar menukar harta wakaf, menurut beliau tidak boleh menjual masjid secara mutlak, sekalipun mesjid itu roboh. Namun sebagian golongan syafi’iah yang lain berpendapat boleh ditukar agar harta wakaf itu ada manfaatnya dan sebagaian lain tetap menolaknya.
Menurut Al- Bakri, mazhab Syafi’I tidak membolehkan wakaf tunai karena dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya.
Melihat pendapat-pendapat ulama di atas bahwa pendapat yang mengatakan benda-benda wakaf tidak boleh diutak atik tanpa sentuhan pengelolaan dan pengembangan
yang lebih bermanfaat semakin kurang relevan dengan kondisi saat ini, dimana segala sesuatu akan bisa memberikan nilai manfaat ekonomi apabila dikelola secara baik.
Selain itu apabila dianalisa maksud dari tujuan wakaf, salah satunya adalah agar harta yang diwakafkan bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Berdasarkan hal tersebut maka wakaf uang memilki unsur manfaat, hanya saja manfaat uang baru akan terwujud bersamaan dengan lenyapnya zat uang secara fisik, tetapi nilai uang yang diwakafkan terpelihara kekekalannya, karena terus dikelola dan mendatangkan hasil. Yang paling prinsipil adalah keabadian manfaat dan nilai dari benda yang diwakafkan.
Disamping itu tidak ada nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang secara tegas melarang wakaf uang, maka atas dasar maslahah mursalah, wakaf uang dibolehkan, karena mendatangkan manfaat yang sangat besar bagi kemaslahatan ummat. Selain maslahah mursalah wakaf uang juga disandarkan pada hadis yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa rasulullah bersabda Apa yang dipandang kaum muslimin baik, dalam pandangan Allah juga baik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan yang sederhana ini, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Peraturan tentang wakaf sudah ada sejak zaman Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dilanjutkan pada zaman kemerdekaan.
2. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu UU No. 5 Tahun 1960 merupakan unifikasi hukum tanah di seluruh Indonesia (DI. Yogyakarta baru melaksanakan pada tahun 1984) memperkokoh dasar hukum perwakafan, khususnya perwakafan tanah milik. Pasal 14 (1) huruf b.
3. Bila perwakafan yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dibandingkan dengan perwakafan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, maka pada dasarnya sama. Dalam beberapa hal, hukum perwakafan dalam Kompilasi tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islamm di antaranya.
4. PP Nomor 28 Tahun 1977 merupakan pedoman perwakafan di Indonesia yang sudah relatif lengkap sekalipun masih harus dilengkapi lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Kabir , Al-Mawardi, Al-Hawi. 1994. Tahqiq Dr. Mahmud Mahraji. Beirut: Dar Al-Fikr, juz IX.
Az-Zuhaily , Wahbah.1984. Fiqhu As-Islami Wa Adillatuhu, juz VIII. Kairo: Maktabah Wahbah.
Baedawi , H. Idham Khalid. 2003. Fiqih Wakaf. Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat & Wakaf.
Harahap, Sumuran. 2007. PedomanPengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf.
Nurdiana , Ilfi. 2008. Hadits-hadits ekonomi, Malang : Malang Press.
Sunarto, Ach. 1991. Terjemah Fathul Qorib, jilid I. Surabaya: Al-hidayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar